Jumat, 15 Mei 2009

DITEMUKAN EXOPLANET TERBESAR


( Ilutrasi TrES-4 bersama dengan bintang induknya di sebelah kanan.Credit: Jeffrey Hall, Lowell Observatory )
---------------------------------------------------------------------------------------
Kelompok pemburu extrasolar planet TrES (Trans-atlantic Exoplanet Survey) kembali menemukan planet di luar Tata Surya. Tanggal 6 Agustus tim ini mengumumkan penemuan planet di rasi Hercules (1435 tahun cahaya jauhnya dari Tata Surya kita). Planet yang diberi nama TrES-4 ini ditemukan dengan menggunakan jaringan teleskop kecil terotomatisasi di Arizona, California, dan Canary Island ketika planet tersebut lewat di depan bintang yang diorbitinya (metode transit). TrES-4 ditemukan kurang dari setengah derajat dari planet ke-3 yang ditemukan kelompok ini, yakni TrES-3. Untuk perbandingan seberapa besar setengah derajat di langit itu, diameter bulan purnama kira-kira setengah derajat.


Menurut Georgi Mandushev, astronom dari Lowell Observatory dan juga penulis utama paper yang mengumumkan penemuan ini, TrES-4 merupakan extrasolar planet terbesar yang ditemukan sejauh ini. Radius TrES-4 1,67 kali radius Jupiter namun massanya lebih kecil, hanya 0,84 kali massa Jupiter. Dengan demikian, densitas planet ini sangat kecil, hanya 0,2 gram per centimeter kubik. Densitas air 1 gram per centimeter kubik. Jadi, seandainya ada kolam air yang mampu menampung TrES-4, planet tersebut akan mengapung karena densitasnya lebih kecil.


TrES-4 pertama kali diamati oleh teleskop penyurvei milik Lowell Observatory, yakni PSST (Planet Search Survey Telescope) yang diset dan dioperasikan oleh Edward Dunham dan Georgi Mandushev. Teleskop Sleuth, yang dioperasikan oleh David Charbonneau (Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics) dan Francis O’Donovan (Caltech) di Palomar Observatory, juga mendeteksi planet yang sama. Planet baru ini mengorbit bintang induknya dalam waktu 3,5 hari. Berada sekitar 7 juta km dari bintang induknya (bandingkan dengan Merkurius yang berjarak 570 juta km dari Matahari), planet ini dikategorikan “hot Jupiter“. Temperaturnya mencapai 1600 Kelvin (atau 1327 derajat Celcius). Dilihat dari massa dan jaraknya ke bintang induknya, TrES-4 mirip planet HD 209458b (planet yang mengedari bintang HD 209458). Astronom berhipotesa bahwa lapisan luar atmosfer planet tersebut bisa lepas dari gravitasi planet dan membentuk selubung yang serupa ekor komet.


Edward Dunham mengatakan bahwa TrES-4 tampaknya akan menjadi “ganjalan” dalam teori-teori extrasolar planet terkini. Massanya relatif lebih besar dari yang diperkirakan oleh model-model planet-planet gas yang luar biasa “terpanasi” (superheated giant planet). Namun, masalah ini bernilai bagus, imbuhnya, karena kita akan belajar sesuatu yang baru dengan memecahkan masalah tersebut.
Per definisi, planet yang transit merupakan planet yang lewat di depan bintang sebagaimana terlihat dari Bumi. Planet yang demikian akan menghalangi sebagian cahaya bintang sehingga menyebabkan adanya penurunan pada kecerlangan bintang yang bersangkutan. Ini sama halnya dengan Bulan yang lewat di antara Bumi dan Matahari ketika terjadi gerhana Matahari. Agar bisa mengamati peristiwa ini (sekaligus menyurvei langit), teleskop diarahkan untuk mengambil citra medan luas sebanyak mungkin pada malam-malam yang berbeda.
Jika pengamatan pada satu wilayah tertentu di langit selesai - biasanya dalam jangka waktu dua bulan - astronom mengukur kecerlangan setiap bintang di wilayah tersebut pada setiap citra yang diambil (bayangkan betapa banyaknya citra!). Akan terlihat apakah ada perubahan teratur pada kecerlangan masing-masing bintang.
Kemudian astronom akan bekerja lebih lanjut untuk melihat apakah sumber perubahan itu benar-benar karena planet atau sumber lainnya, misalnya bintang yang lebih kecil dan lebih redup. TrES-4 menghalangi sekitar 1% cahaya bintangnya ketika planet tersebut lewat di depannya. Ini efek yang kecil, namun dengan teleskop kecil dan teknik observasi yang dimiliki, tim TrES bisa mendeteksinya.Bintang induk TrES-4, yakni GSC 02620-00648, sebaya dengan Matahari namun, karena massanya lebih besar dari Matahari, dia telah berevolusi lebih cepat. Dia telah menjadi bintang kelas subraksasa, atau bintang yang telah kehabisan bahan bakar hidrogen di pusatnya, dan tengah menuju fase “raksasa merah”, bintang merah dingin seperti Arcturus atau Aldebaran.

Penemuan ini dikonfirmasi oleh Gaspar Bakos dari Hungarian Automated Telescope Network (HATNet) dan Guillermo Torres dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics dengan menggunakan teleskop 10 m di W.M. Keck Observatory di puncak Mauna Kea, Hawaii. Untuk mengukur secara akurat ukuran dan sifat-sifat lain TrES-4, astronom juga menindaklanjuti observasi dengan menggunakan teleskop yang lebih besar di Lowell Observatory dan Whipple Observatory di Arizona.

Sumber : Press release Lowell Observatory dan W. M. Keck Observatory


Kamis, 14 Mei 2009

PERUBAHAN MISTERIUS DI ERIS


Permukaan plutoid terbesar tampaknya mengalami perubahan. Perubahan ini diketahui dari pengukuran lapisan-lapisan elemen di permukaan esnya. Sayangnya para astronom masih belum bisa memberikan penjelasan mengapa perubahan itu terjadi.

Eris merupakan objek terbesar yang mengorbit di luar area Neptunus dan memiliki massa sepertiga kali lebih besar dari Pluto. Eris mengembara dalam orbit yang lonjong untuk mengelilingi Matahari setiap 560 tahun. Sebuah dunia yang berada nunjauh dari bumi ini diselimuti oleh lapisan metana beku dan sejmlah kecil es nitrogen.
Saat Eris bergerak mendekati Matahari, es pada permukaan yang berhadapan dengan Matahari seharusnya mengalami penguapan dan terkondensasi ke area yang berada di balik kegelapan.

Saat ini Eris berada dekat dengan titik terjauhnya dari Matahari. Pada kondisi ini tentunya yang terjadi adalah Eris akan berada pada kondisi yang dingin dan tidak aktif. Ternyata dalam studi terbaru, permukaan planet katai satu ini mengalami perubahan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini menimbulkan pertanyaan baru di benak para peneliti. Apa yang terjadi dengan Eris, mengapa bisa ada perubahan di saat ia seharusnya tidak aktif?

TerobosanMenurut Stphen Tegler dari Northern Arizona University di Flagstaff, dari pengukuran es metana menyerap cahaya Matahari, Eris seharusnya berada dalam kondisi tidak aktif. Metana menyerap cahaya pada beberapa panjang gelombang lebih kuat dari panjang gelombang lainnya. Nah cahaya pada panjang gelombang yang lemah diserap oleh metana akan dapat menerobos lapisan metana dan mencapai bagian terdalam di bawah permukaan meskipun kepastian kedalamannya belum bisa dipastikan.

Dari hasil penelitian pada pita panjang gelombang yang berbeda dalam spektrum Eris menggunakan 6,5 meter MMT observatorium di Arizona, disimpulkan bahwa konsentrasi nitrogen tampaknya semakin meningkat selaras dengan bertambahnya kedalaman.

Hasil tersebut didapat dari observasi yang dilakukan pada 5 panjang gelombang di tahun 2007. Lantas mengapa dibilang ada yang aneh?
Ternyata penemuan di tahun 2007 ini kontradiksi dengan hasil pengamatan pada tahun 2005 yang dilakukan dengan William Herschel Telescope 4.2-m di Spanyol. Pengamatan tahun 2005 dilakukan pada 2 pita panjang gelombang dan diketahu kalau kelimpahan nitrogen paling tinggi berada dekat permukaan.

Cuaca Es?Hasil observasi di tahun 2005 dan 2007 tidak ada yang salah, namun para peneliti pun belum bisa menjelaskan mengapa bisa ada perbedaan seperti itu padahal harusnya Eris dalam kondisi tidak aktif. Salah satu kemungkinan yang diajukan adalah Eris bisa jadi mengalami perubahan cuaca yang terjadi beberapa centimeter di bagian atas permukaannya.

Tapi apakah perubahan cuaca ini bisa terjadi mengingat Eris saat ini berada jauh dari Matahari. Sangat sulit untuk bisa memperkirakan ada perubahan yang begitu dramatis terjadi dalam skala waktu yang relatif singkat.
Kemungkinan lain yang bisa saja terjadi adalah metana dan uap nitrogen berasal dari bagian dalam Eris yang meletus keluar dan berkondensasi membentuk lapisan es yang baru.

Letusan VulkanikPertanyaan lainnya, apakah Eris cukup hangat sehingga bisa terjadi jenis letusan pada suhu rendah? Letusan bukanlah sesuatu yang harus diberi perkecualian. Diharapkan misi New Horizons milik NASA yang akan diberangkatkan ke Pluto thaun 2015 akan dapat mengungkap jawaban mister tersebut. New Horizons akan menyelidiki apakah di Pluto pernah terjadi hal yang mirip. Seandainya memag ada, maka hal yang sama tentu bisa terjadi juga di Eris.

Alternatif lainnya adalah bisa saja kedua tim menyelidiki area yang berbeda dari planet katai tersebut. Pengamatan terbaru juga menunjukan Eris memiliki panjang hari yang hampir sama dengan Bumi, karena ia berotasi pada sumbunya setiap 26 jam.

Observasi lanjutan akan dapat menelusuri penampakan planet ini dalam rotasi multipel untuk menentukan kemungkinan adanya komposisi tambalan disana.
Sumber : New Scientist

MAKEMAKE PENGHUNI BARU PLANET KATAI ( PLANET KERDIL )


Setelah menunggu 3 tahun lamanya, akhirnya objek sabuk kuiper 2005 FY9 yang juga disebut sebagai kelinci paskah mendapatkan nama resminya. Tidak hanya itu, ia juga diklasifikasikan sebagai planet katai dan plutoid. Nama resmi si kelinci paskah yang ditemukan beberapa hari sebelum Paskah 2005 adalah make-make atau yang dilafalkan mah-kay mah-kay.

Makemake adalah dewa kemanusiaan dan dewa kesuburan dalam mitologi di Kepulauan Pasifik Selatan yakni di pulau Rapa Nui. Di sana makemake dikenal sebagai dewa yang memimpin suku manusia burug Tangata dan ia adalah dewa yang berbentuk burung laut. Menurut legenda si burung laut ini adalah inkarnasi dari makemake. Simbol makemake adalah manusia berkepala burung dan bisa ditemukan di petrolypse di kepulauan tersebut.

Makemake yang bagi Mike Brown penemunya masih dipanggil kelinci Paskah, merupakan salah satu penghuni baru kelas planet katai dengan ukuran 2/3 Pluto dan orbitnya tidaklah aneh. Yang pasti makemake ini merupakan salah satu objek yang paling terang di Sabuk Kuiper selain Pluto. Permukaan makemake dilapisi oleh sejumlah besar es metana murni yang sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut. Makemake memliki kecerlangan 16.7 magnitud dan bisa dilihat di konstelasi Coma Berenices dengan diameter sekitar 1500 km dan sampai saat ini belum ada satelit yang terdeteksi disekitar makemake.
Sumber : Mike Brown

2006 SQ372 PERJUMPAAN SETIAP 22500 TAHUN


Orbit SQ372 (biru) dibandingkan dengan orbit Neptunus, Pluto dan Sedna (putih, hijau, merah). Kredit : N. Kaib
Sebuah planet minor bernama 2006 SQ372 dengan jarak sekitar lebih dari 3 milyar km dari Bumi atau sedikit lebih dekat dari Neptunus, tengah melintasi orbit Neptunus dalam perjalanannya mengitari Matahari. Objek kecil yang menyerupai komet raksasa ini membutuhkan waktu 22500 tahun untuk menyelesaikan perjalanannya mengitari Matahari. Saat ia berada pada jarak terjauhnya dari Matahari saat itu si objek 2006 SQ372 akan berada pada jarak 241 milyar km atau mendekati 1600 kali jarak Bumi - Matahari.

Bidang orbit planet mayor yang ada di Tata Surya memiliki bentuk hampir lingkaran, namun untuk kasus 2006 SQ372 orbitnya berbentuk ellips. Satu-satunya objek yang bisa dibandingkan dengan 2006 SQ372 adalah Sedna (planet katai yang ditemukan tahun 2003). Objek baru ini jauh lebih kecil dari Sedna, dengan diameter hanya sekitar 48-96 km dan bukannya 1000 km. Pada dasarnya oobjek ini adalah sebuah komet, namun ia tak pernah bergerak sampai pada jarak yang cukup dekat dengan Matahari sehingga bisa memiliki ekor terang hasil penguapan gas dan debu.

Tim yang dipimpin Andrew Becker astronom dari Washington University, menemukan komet tersebut saat mengaplikasikan simulasi terhadap data ang sudah diambil untuk mencari ledakan supernova pada jarak milyaran tahun cahaya untuk mengukur pengembangan alam semesta.

Dalam pencarian ini, jika objek yang meledak dapat ditemukan maka objek yang bergerak pun akan dapat dikenali, walaupun untuk itu dipelukan alat yang berbeda. Dan menurut salah satu anggota tim, Lynne Jones dari University of Washington, objek yang cukup dekat dan dapat berubah posisi dalam waktu pendek adalah objek di Tata Surya.

SQ372 pertama kali ditemukan dalam deretan citra yang diambil antara 27 September - 21 Oktober 2006. Saat itu salah satu anggota tim, Andrew Puckett dari University of Alaska Anchorage, kemudian melakukan pencarian dalam survey Supernova musim gugur 2005 untuk mendapatkan deteksi yang lebih awal. Ternyata SQ372 ini sudah ditemukan dalam musim pengamatan 2006 dan 2007.
Dalam simulasi komputer yang dilakukan Nathan Kaib, mahasiswa pasca sarjana University of Washington, tampaknya SQ372 ini memiliki model pembentukan yang sama dengan Pluto yakni di sabuk serpihan es di area sekitar Neptunus dan kemudian terlontar keluar akibat pertemuan gravitasi antara Neptunus dan Uranus. Namun menurut Kaib, diperkirakan SQ372 ini berasal dari bagian dalam awan Oort.

Pada tahun 1950, Jan Oort seorang astronom asal Belanda menyimpulkan kalau sebagian besar komet berasal dari waduk es yang berada jauh. Waduk yang berisi objek-objek seperti asteroid ini sebenarnya terlontar keluar dari Tata Surya akibat tolakan gravitasi planet-planet raksasa. Sebagian besar objek di awan Oort mengorbit Matahari pada jarak beberapa bilyun km, namun gaya gravitasi dari bintang yang berpapasan dengan awan oort dapat mengubah orbit mereka. Akibatnya sebagian akan masuk ke ruang antar bintang dan sebagian lagi justru memiliki orbit yang melintasi Tata Surya dimana mereka bercahaya sebagai komet.

2006 SQ372, pada titik baliknya yang terjauh pun akan 10 kali lebih dekat ke Matahari dibanding objek-objek utama di awan Oort. Secara teori awan Oort telah diprediksikan ada semenjak beberapa tahun lalu, namun tampaknya penemuan Sedna dan SQ372 merupakan 2 objek pertama yang tampaknya berasal dari awan Oort tersebut.

Menurut Kaib, salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk memahami asal muasal Komet namun tujuan yang lebih jauh lagi adalah untuk menelusuri sejarah awal Tata Surya dan menempatkan potongan-potongan informasi tersebut untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi saat Planet terbentuk.
Sumber : SDSS

SABUK ASTEROID DI SAUDARA TATA SURYA


Perbandingan sistem Epsilon Eridani dan tata Surya. Kredit : NASA/JPL-Caltech
Astronom baru saja menemukan saudara kembar Tata Surya yang usianya jauh lebih muda. Saudara kembar itu adalah sistem keplanetan di bintang pada jarak 10.5 tahun cahaya di rasi Eridanus. Ia adalah bintang dekat yang bisa dilihat dengan mata bugil. Epsilon Eridani sendiri masih sangat muda sekitar 850 juta tahun dan memiliki level aktivitas magnetik yang sangat tinggi dan angin bintangnya juga 30 kali lebih kuat,

Tahun 2000 ditemukan planet yang mengitari bintang ini dengan periode orbit 2502 hari dan berada pada jarak 3,4 SA dari sang bintang. Tahun ini para astronom menemukan keberadaan dua buah sabuk asteroid dan cincin es di bagian terluar, sehingga membuatnya terlihat sebagai sistem dengan cincin triple.

Sabuk dalam asteroid merupakan kembar virtual dari sabuk asteroid yang ada di Tata Surya, sementara sabuk luar asteroid memiliki materi materi 20 kali lebih banyak Keberadaan ketiga cincin materi ini berimplikasi bahwa planet yang tidak teramati itu menyembunyikan dan membentuk asteroid yang ada.

Saat ini Epsilon Eridani dan sistem keplanetan di dalamnya menunjukan kemiripan dengan Tata Surya saat seumuran dengan Epsilon Eridani. Sistem ini seperti sebuah perjalanan waktu kembali ke masa lalu Tata Surya saat ia masih muda. Tidak hanya itu, diperkirakan sistem tersebut sangat mirip dengan Tata Surya saat kehidupan pertama kali mengambil bentuk di Bumi.
Sabuk asteroid di Tata Surya yang membentang di antara Mars dan Jupiter, pada jarak 3 SA dari Matahari memiliki massa total 1/20 massa Bulan. Sabuk asteroid di Epsilon Eridani yang ditemukan oleh Teleskop Spitzer milik NASA juga berada pada jarak 3 SA dari bintang induknya. Sabuk asteroid kedua di Epsilon Eridani ditemukan berada pada jarak 20 SA (lokasi dimana Uranus berada), dengan massa sebanding dengan massa Bumi.
Cincin ketiga yang berupa materi es membentang pada jarak 35 - 100 SA dari Epsilon Eridani. Waduk es yang mirip dnegan itu juga ada di Tata Surya yakni pada jarak yang kurang lebih sama dan kita kenal sebagai Sabuk Kuiper. Cincin es yang baru ditemukan di sistem bintang tetangga ini juga mengandung materi 100 kali lebih banyak dari Sabuk Kuiper.

Saat Matahari masih berusia 850 juta tahun, kalkulasi teori menunjukan Sabuk Kuiper memang tampak sama seperti yang ditemukan di Epsilon Eridani. Sejak saat itu materi di Sabuk Kuiper mengalami penyapuan keluar dari sistem ataupun masuk ke dalam planet dalam saat terjadinya tabrakan besar-besaran atau yang dikenal dengan Late Heavy Bombardment. Bisa jadi di masa depan Epsilon Eridani juga akan mengalami pembersihan dramatik yang sama seperti Tata Surya.

Epsilon Eridani memang memiliki kemiripan dengan Tata Surya saat muda, karena itu bisa jadi di masa depan ia akan memiliki evolusi yang juga mirip dengan evolusi Tata Surya.
Data Spitzer juga menunjukan adanya gap antara ketiga cincin di sekeliling Epsilon Eridani tersebut. Gap yang ada bisa dijelaskan dengan keberadaan planet yang secara gravitasi membentuk cincin tersebut, sama seperti yang terjadi di Saturnus.

Jika ada 3 buah planet dengan massa antara Neptunus dan Jupiter mengisi gap tersebut maka ini akan memberi sebuah pembuktian lebih lanjutan akan kemiripan Tata Surya deng Epsilon Eridani. Nah seperti yang diketahui saat ini Epsilon Eridani memiliki sebuah planet yang berada pada jarak 3.4 SA dan mengitari bintang induknya dengan orbit yang sangat eksentrik dengan eksentrisitas 0.7. Temuan terbaru ini membuang kemungkinan orbit seperti itu, karena tentunya planet sudah membensihkan sabuk dalam asteroid jauh-jauh hari melalui gangguan gravitasi. Planet kedua pastinya tengah bersembunyi dekat dengan sabuk luar asteroid, dan planet ketiga bisa jadi berada pada jarak sekitar 35 SA dekat dengan tepi dalam Sabuk Kuiper di Epsilon Eridani.

Studi dan pengamatan lanjutan diharapkan dapat mengungkap dunia yang saat ini masih tersembunyi itu termasuk juga menemukan planet terrestrial yang berada di sebelah dalam sabuk asteroid tersebut.





Rabu, 13 Mei 2009

MUNGKINKAH KEHIDUPAN DI BUMI BERASAL DARI CERES ?







Mencari kehidupan lain di luar Bumi memang jadi impian banyak orang. Bisa jadi kehidupan itu ada di salah satu sudut alam semesta namun bisa juga kehidupan itu muncul di Tata Surya. Di dalam Tata Surya, pencarian memang difokuskan di Mars, atau satelit es seperti Europa. Namun di luar sana, ada sebuah tempat yang bisa jadi merupakan lokasi dimana kehidupan itu ada.
Ceres: Pilihan Yang Berbeda
Dalam pertemuan International Society for the Study of the Origin of Life di Florence, Italia, Joop Houtkooper dari University of Giessen mengajukan sebuah teori kalau kehidupan muncul di salah satu objek di sabuk asteroid, yakni Ceres. Saat ditemukan pada tahun 1801, Ceres memang diperkirakan sebagai planet, namun kemudian diketahui kalau ia merupakan asteroid. Dan dengan definisi baru dari planet, Ceres justru dikategorikan sebagai planet katai bersama Pluto, Eris dan Sedna. Pertanyaannya apakah mungkin ada kehidupan disana? Mungkinkah ada organisme extraterrestrial disana?

Ide ini muncul ketika Joop mendengar presentasi tentang satelit di Tata Surya yang memiliki potongan besar es, yang sebagian besar di antaranya berada dalam kondisi cair. Bahkan total volume air tersebut 40% lebih besar dari seluruh lautan di Bumi. Ini mengingatkan Joop pada teori terbentuknya kehidupan.
Organisme pertama kali bertumbuh dan berkembang di lubang hidrotermal, yang berada di dasar lautan dan memuntahkan senyawa kimia panas. Kebanyakan objek es di Tata Surya memiliki inti batuan, sehingga kemungkinan mereka memiliki lubang hidrotermal. Dengan demikian jika kehidupan itu memang ada dimana-mana dan tidak unik di Bumi saja maka bisa jadi di objek es inilah mereka memulai kehidupan itu.
Bukti-bukti Di awal sejarah Tata Surya, ada sebuah periode yang kita kenal sebagai ‘periode akhir tabrakan besar’. Ini adalah saat dimana tabrakan asteroid merupakan kejadian umum.
Nah jika memang ada kehidupan sebelum zaman itu, maka tentunya tumbukan asteroid akan menghancurkan semuanya. Dan kehidupan harus kembali memulai prosesnya dari awal, setelah debu kosmik dibersihkan dari bagian dalam Tata Surya. Yang menarik, bukti yang ada menunjukan kalau Ceres tidak mengalami serangan asteroid bertubi-tubi selama era tabrakan besar tersebut. Seandainya tabrakan itu terjadi, Ceres akan kehilangan selubung air untuk selamanya karena pada saat itu gaya gravitasinya terlalu lemah untuk menangkap kembali selubung air tersebut. Inilah yang sepertinya terjadi pada asteroid Vesta, yang memiliki kawah tabrakan sangat besar di tubuhnya dan tidak ada air lagi disana.

Bukti tak tersentuhnya Ceres selama periode tabrakan besar memberi kemungkinan keberadaan lautan dimana kehidupan bisa saja muncul di awal sejarah Tata Surya. Fakta ini membawa kita pada sebuah hipotesa menarik. Jika kehidupan di Bumi dihabiskan oleh tabrakan kolosal sedangkan Ceres yang “memiliki kehidupan” selamat, bisa jadi Cereslah yang menanamkan kehidupan di Bumi melalui pecahan batuan yang lepas dan menabrak Bumi. Apakah pada akhirnya kehidupan di Bumi termasuk manusia berasal dari Ceres?

Jika melihat pada planet lain yang memiliki lautan, kita bisa membandingkannya dengan Venus. Di awal sejarah Tata Surya, diperkirakan Venus memiliki lautan, namun massa planet yang besar juga berarti dibutuhkan gaya yang besar untuk bisa melepaskan sekeping kerak planetnya dan mengarahkannya ke Bumi. Objek lebih kecil seperti Ceres memiliki kecepatan lepas yang rendah sehingga jauh lebih mudah bagi kepingannya memisahkan diri. Dari kandidat yang diperhitungkan (planet, asteroid, satelit), Ceres merupakan salah satu kandidat terbaik untuk melepaskan kepingannya menuju Bumi tanpa diinterupsi objek lainnya.
Kehidupan di Ceres
Kalau di Ceres memang ada kehidupan, bisa jadi saat ini ada organisme di sana. Kemungkinan terbesar, kehidupan di Ceres berada di lautan. Untuk kehidupan di permukaan, jauh lebih sulit untuk ditemukan namun ada kemungkinan kalau di permukaan Ceres kehidupan bisa tumbuh juga. Diperkirakan kehidupan yang ada di Ceres basisnya adalah hidrogen peroxide sehingga bisa bertahan pada temperatur rendah. Namun memang belum dipastikan apakan hidrogen peroxide ada di Ceres.

Pemikiran bahwa kehidupan di Bumi ini ditanamkan dari Ceres dan masih ada bentuk kehidupannya di sana memang menarik. Namun sebelum semua itu dibuktikan, pemikiran ini hanyalah sebuah fiksi-sains bukan sebuah fakta. Memang tak gampang untuk membuktikan semua ini. Ceres merupakan sebuah dunia yang jauh dan sangat kecil. Citra terbaik yang dihasilkan saat ini masih belum bisa memberikan banyak detil, hanya beberapa kondisi permukaan. Sisanya masih misteri. Analisis spektrum menunjukkan keberadaan mineral tanah liat /lempung, dan Ceres sendiri merupakan dunia yang pipih. Ceres sampai saat ini masih jadi planet katai yang menyimpan banyak misteri.

Tapi sepertinya misteri itu tak akan terus tersimpan, karena misi DAWN milik NASA akan menjejak Ceres di tahun 2015. Saat ia tiba, ia akan menyingkap setiap misteri yang ada di Ceres. DAWN diperkirakan akan mengambil citra geysers dan erupsi air di permukaan. Pemandangan jarak dekat inilah yang kelak akan menunjukan apakah memang benar ada indikasi untuk tumbuhnya kehidupan disana.
Sumber : astrobiologi.net

MUNGKINKAH KEHIDUPAN TERBENTUK DI BINTANG DINGIN ?

Impresi artis untuk planet muda yang tengah mengorbit bintang dingin. Kredit : NASA

Asal usul kehidupan selalu menjadi kajian yang menarik. Nah, di Bumi diyakini kehidupan berasal dari sup kimia panas. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah sup yang samajuga ada di planet yang mengitari bintang lain?


Studi yang dilakukan teleskop Spitzer milik NASA menunjukan kalau di planet yanng mengitari bintang dingin (lebih dingin dari Matahari) bisa jadi memiliki potensi pembentuk kehidupan yang berbeda. Diperkirakan campuran kimia yang dibutuhkan berbeda dengan di Bumi.

Para astronom menggunakan teleskop Spitzer untuk mencari senyawa kimia prebiotik yang dikenal dengan nama hidrogen sianida, dalam materi pembentuk planet yang berada disekitar bintang dengan tipe berbeda. HIdrogen sianida tersusun oleh adenin yang juga merupakan elemen dasar pembentuk DNA yang ada pada semua organisme hidup di Bumi.


Peneliti berhasil mendeteksi keberadaan molekul hidrogen sianida pada piringan yang mengitari bintang berwarna kuning seperti Matahari, namun mereka tak bisa menemukan komponen yang sama pada bintang yang lebih dingin dan kecil seperti pada bintang katai M yang berwarna kemerah-meraha dan di katai coklat.


Bisa jadi senyawa kimia prebiotik berbeda pada planet yang mengorbit bintang dingin. Bintang muda lahir dlam kepompong debu dan gas yang kemudian memipih menjadi piringan. Debu dan gas di dalam piringan inilah yang menyediakan materi mentah pembentuk planet. Diduga, molekul pembentuk cikal bakal kehidupan di Bumi terbentuk pada piringan tersebut. Molekul prebiotik seperti adenine diduga dibawa dari ruang angkasa ke Bumi saat meteorit menghatam permukaan Bumi saat masih muda.


Nah, mungkinkan kehidupan terbentuk disekeliling bintang lain? Ilaria Pascucci dari Johns Hopkins University, Baltimore, Md beserta rekan-rekannya mencoba mencari jawabannya dengan meneliti piringan tempat terbentuknya planet disekitar 17 bintang dingin dan 44 bintang serupa Matahari. Mereka menggunakan spektograf inframerah milik Spitzer untuk memisahkan cahaya dan mengungkapkan keberadaan senyawa kimia. Usia bintang yang diteliti berkisar antara 1 - 3 juta tahun, usia dimana bintang diperkirakan telah tumbuh. Dalam penelitian ini, yang dilihat adalah perbadingan molekul hidrogen sianida dengan molekul acetylene.


Hasilnya, bintang katai-M dan katai coklat sama sekali tidak menunjukan keberadaan hidrogen sianida sementara 30% bintang yang serupa Matahari justru menunjukan keberadaan molekul tersebut. Menurut Pascucci, cahaya ultraungu yang lebih kuat di bintang serupa Matahari yang mengendalikan tingginya pembentukan hidrogen sianida. Namun pada bintang dingin memang ditemukan moleuk acetylene pada piringan disekitar bintang.


Penemuan ini jelas memberi implikasi pada planet yang saat ini telah ditemukan disekitar bintag katai-M. Sebagian dari planet yang ditemukan diperkirakan lebih besar dari Bumi, dan dikenal sebagai planet super-Bumi. Dari semua planet super-Bumi yang ditemukan tak satupun berada pada area habitasi bintang, dimana air berada pada kondisi cair. Pertanyaannya jika ada planet super Bumi ditemukan di daerah habitasi Bintang, mampukah ia memiliki dan mempertahankan kehidupan?


Para astronom pun masih belum mampu meberi jawaban yang pasti.
Katai-M memiliki letupan magnetik ekstrim yang bisa mengacaukan proses pembentukan kehidupan. Data penelitian Spitzer memberikan cerita lain untuk dipertimbangkan, yakni planet-planet ini juga kekurangan hidrogen sianida, molekul yang ikut membentuk kehidupan.


Selama ini para peneliti sudah memiliki petunjuk bahwa kondisi aam pada bintang dingin pastinya akan memberikan tantangan tersendiri bagi munculnya kehidupan. Tapi hasil Spitzer justru membangun sbeuah pertanyaan mendasar lainnya, yakni : “Apakah sistem keplanetan di bintang dingin memiliki bahan yang cukup untuk membentuk kehidupan?”
Jika jawabannya tidak, maka pertanyaan tentang kehidupan di bintang dingin bisa menjadi aspek perdebatan baru yang menarik.

Sumber : NASA JPL


PENEMUAN PLANET BARU







Para ahli astronomi melaporkan ditemukannya planet yang mungkin paling mirip bumi di sekitar tata surya. Planet itu lebih besar daripada bumi, tetapi para ilmuwan mengatakan, teknik mereka cukup canggih untuk mengidentifikasi lebih banyak planet yang besarnya hampir sama dengan bumi.

Sejak pertengahan tahun 1990an, para ahli astronomi telah menemukan lebih dari 170 planet yang mengorbit bintang-bintang di luar tata surya kita. Tetapi planet terbaru yang ditemukan di pusat bimasakti kita ini berbeda, dan membuat para pakar yakin bahwa mungkin banyak bumi lain di luar sana.

Sebegitu jauh, sebagian besar planet yang ditemukan di sekitar bintang yang normal adalah planet raksasa berisi gas seperti Saturnus dan Jupiter, beberapa planet sebesar bumi yang diduga berbatu-batu telah ditemukan, tetapi mereka mengorbit bintang-bintang mati yang disebut bintang neutron. Sebegitu jauh, hanya satu planet berbatu yang ditemukan mengorbit bintang biasa, tetapi besarnya tujuh setengah kali lebih besar daripada bumi.
Dan lagi, semua planet yang ditemukan belum lama ini letaknya terlalu dekat dengan bintang untuk dapat dihuni kehidupan.
Planet terbaru yang diidentifikasi di luar tata surya kita itu lebih mirip dengan bumi. Ke-73 ilmuwan di 10 negara yang melacaknya memperkirakan bahwa besarnya hanya lima setengah kali bumi, dan letaknya lebih jauh dari bintang dibandingkan planet-planet lain, yaitu dua setengah kali jarak bumi dari matahari.

Salah satu penemu planet itu, David Bennett dari Universitas Notre Dame di Indiana mengatakan, itu berarti bahwa letaknya di luar zone yang dapat dihunin kehidupan, karena suhu permukannya 220 derajat di bawah nol Celcius. Namun, katanya, ini lebih menarik daripada planet-planet yang bersuhu tinggi di luar tata surya kita.

Pada dasarnya, tambah David Bennet, “Kami menyatakan telah membuka sebuah jendela baru, dan kami mendekati planet-planet yang mirip bumi, meskipun kami lebih memperhatikan planet-planet yang suhunya lebih rendah daripada bumi.”
Penemuan ini melibatkan sebuah teknik pencarian baru yang berbeda dengan yang digunakan untuk menemukan planet-planet lain. Cara lama tidak melihat langsung planet, tetapi memperkirakan kehadirannya dengan mengamati olengan bintang, yang diakibatkan oleh gravitasi planet yang mengorbit. Prosedur ini cenderung menemukan planet-planet yang terbesar, terpanas dan terdekat dengan bintang sehingga tidak dapat mendukung kehidupan.

Cara baru itu menggunakan fenomena alam yang disebut microlensing. Dengan teknik ini, cahaya dari bintang yang jauh diperbesar oleh gravitasi bintang di dekatnya, seperti cahaya lampu sorot yang melewati kaca pembesar. Kalau suatu planet mengorbit bintang yang ada di latar belakang, gravitasinya dapat meningkatkan kecerahan cahanya.

Pakar astronomi Prancis Jean Pierre Beaulieu dari Lembaga Astrofisika di Paris terkejut melihat besarnya peningkatan kecerahan cahaya ini: “Tadinya kami duga bahwa bintang ini lebih pudar daripada yang kami amati. Jadi kami memutuskan untuk melakukan pengukuran lagi, dan pada pengukurna kedua, bintang ini lebih terang. Kami sangat bersemangat karena inilah yang sudah kami cari sejak lama.”

Para periset mengatakan, kelebihan microlensing adalah teknik itu dapat mendeteksi planet-planet bermassa rendah. Tentu saja teknik ini dapat mengamati bintang-bintang besar seperti Jupiter secara lebih mudah, tetapi sebegitu jauh baru menemukan dua. David Bennett mengatakan, kalau bintang-bintang besar jumlahnya lebih banyak di alam semesta, microlensing tentunya akan menemukan lebih banyak lagi. David Bennett dan rekan-rekannya yang melaporkan penemuan ini dalam jurnal Nature mengatakan, microlensing kemungkinan besar akan menemukan planet-planet bermassa rendah lebih banyak, dalam bulan-bulan mendatang.

Michael Turner dari Yayasan Sains Nasional Amerika yang membantu pendanaan riset ini mengatakan, penemuan ini adalah terobosan penting dalam usaha menemukan jawaban atas pertanyaan “Apakah ada mahluk lain di alam semesta ini, selain di bumi?.”

Dengan ditemukannya lebih dari 170 planet di luar tata surya selama 11 tahun terakhir ini, tambahnya, petualangan untuk mencari jawaban atas pertanyaan itu telah dimulai.

PLANET X BUKAN PLANET NIBIRU




Keterangan Gambar : ( kanan ) Sedna, ( kiri ) perbandingan besar planet
Bagian luar Tata Surya masih memiliki banyak planet-planet minor yang belum ditemukan. Sejak pencarian Planet X dimulai pada awal abad ke 20, kemungkinan akan adanya planet hipotetis yang mengorbit Matahari di balik Sabuk Kuiper telah membakar teori-teori Kiamat dan spekulasi bahwa Planet X sebenarnya merupakan saudara Matahari kita yang telah lama “hilang”. Tetapi, mengapa kita harus cemas duluan akan Planet X/Teori Kiamat ini? Planet X kan tidak lain hanya merupakan obyek hipotetis yang tidak diketahui?

Teori-teori ini didorong pula dengan adanya ramalan suku Maya akan kiamat dunia pada tahun 2012 (Mayan Prophecy) dan cerita mistis Bangsa Sumeria tentang Planet Nibiru, dan akhirnya kini memanas sebagai “ramalan kiamat” 21 Desember 2012. Namun, bukti-bukti astronomis yang digunakan untuk teori-teori ini benar-benar melenceng.

Pada 18 Juni kemarin, peneliti-peneliti Jepang mengumumkan berita bahwa pencarian teoretis mereka untuk sebuah massa besar di luar Tata Surya kita telah membuahkan hasil. Dari perhitungan mereka, mungkin saja terdapat sebuah planet yang sedikit lebih besar daripada sebuah objek Plutoid atau planet kerdil, tetapi tentu lebih kecil dari Bumi, yang mengorbit Matahari dengan jarak lebih dari 100 SA. Tetapi, sebelum kita terhanyut pada penemuan ini, planet ini bukan Nibiru, dan bukan pula bukti akan berakhirnya dunia ini pada 2012. Penemuan ini adalah penemuan baru dan merupakan perkembangan yang sangat menarik dalam pencarian planet-planet minor di balik Sabuk Kuiper.

Dalam simulasi teoretis, dua orang peneliti Jepang telah menyimpulkan bahwa bagian paling luar dari Tata Surya kita mungkin mengandung planet yang belum ditemukan. Patryk Lykawa dan Tadashi Mukai dari Universitas Kobe telah mempublikasikan paper mereka dalam Astrophysical Journal. Paper mereka menjelaskan tentang planet minor yang mereka yakini berinteraksi dengan Sabuk Kuiper yang misterius itu.
Kuiper Belt Objects (KBOs)
Sabuk Kuiper menempati wilayah yang sangat luas di Tata Surya kita, kira-kira 30-50 SA dari Matahari, dan mengandung sejumlah besar objek-objek batuan dan metalik. Objek terbesar yang diketahui adalah planet kerdil (Plutoid) Eris. Telah lama diketahui, Sabuk Kuiper memiliki karakteristik yang aneh, yang mungkin menandakan keberadaan sebuah benda (planet) besar yang mengorbit Matahari dibalik Sabuk Kuiper. Salah satu karakterikstik tersebut adalah yang disebut dengan “Kuiper Cliff” atau Jurang Kuiper yang terdapat pada jarak 50 SA.
Ini merupakan akhir dari Sabuk Kuiper yang tiba-tiba, dan sangat sedikit objek Sabuk Kuiper yang telah dapat diamati di balik titik ini. Jurang ini tidak dapat dihubungkan terhadap resonansi orbital dengan planet-planet masif seperti Neptunus, dan tampaknya tidak terjadi kesalahan (error) pengamatan. Banyak ahli astronomi percaya bahwa akhir yang tiba-tiba dalam populasi Sabuk Kuiper tersebut dapat disebabkan oleh planet yang belum ditemukan, yang mungkin sebesar Bumi. Objek inilah yang diyakini Lykawka dan Mukai, dan telah mereka perhitungkan keberadaannya.

Para peneliti Jepang ini memprediksikan sebuah objek besar, yang massanya 30-70 % massa Bumi, mengorbit Matahari pada jarak 100-200 SA. Objek ini mungkin juga dapat membantu menjelaskan mengapa sebagian objek Sabuk Kuiper dan objek Trans-Neptunian (TNO) memiliki beberapa karakteristik orbital yang aneh, contohnya Sedna.
Sejak ditemukannya Pluto pada tahun 1930, para astronom telah mencari objek lain yang lebih masif, yang dapat menjelaskan gangguan orbital yang diamati pada orbit Neptunus dan Uranus. Pencarian ini dikenal sebagai “Pencarian Planet X”, yang diartikan secara harfiah sebagai “pencarian planet yang belum teridentifikasi”. Pada tahun 1980an gangguan orbital ini dianggap sebagai kesalahan (error) pengamatan. Oleh karena itu, pencarian ilmiah akan Planet X dewasa ini adalah pencarian untuk objek Sabuk Kuiper yang besar, atau pencarian planet minor. Meskipun Planet X mungkin tidak akan sebesar massa Bumi, para peneliti masih akan tetap tertarik untuk mencari objek-objek Kuiper lain, yang mungkin seukuran Plutoid, mungkin juga sedikit lebih besar, tetapi tidak terlalu besar.

“The interesting thing for me is the suggestion of the kinds of very interesting objects that may yet await discovery in the outer solar system. We are still scratching the edges of that region of the solar system, and I expect many surprises await us with the future deeper surveys.” - Mark Sykes, Direktur Planetary Science Institute (PSI) di Arizona.

Planet X Tidaklah MenakutkanJadi, dari mana Nibiru ini berasal? Pada tahun 1976, sebuah buku kontroversial berjudul The Twelfth Planet atau Planet Kedua belas ditulis oleh Zecharian Sitchin. Sitchin telah menerjemahkan tulisan-tulisan kuno Sumeria yang berbentuk baji (bentuk tulisan yang diketahui paling kuno). Tulisan berumur 6.000 tahun ini mengungkapkan bahwa ras alien yang dikenal sebagai Anunnaki dari planet yang disebut Nibiru, mendarat di Bumi. Ringkas cerita, Anunnaki memodifikasi gen primata di Bumi untuk menciptakan homo sapiens sebagai budak mereka.

Ketika Anunnaki meninggalkan Bumi, mereka membiarkan kita memerintah Bumi ini hingga saatnya mereka kembali nanti. Semua ini mungkin tampak sedikit fantastis, dan mungkin juga sedikit terlalu detail jika mengingat semua ini merupakan terjemahan harfiah dari suatu tulisan kuno berusia 6.000 tahun. Pekerjaan Sitchin ini telah diabaikan oleh komunitas ilmiah sebagaimana metode interpretasinya dianggap imajinatif. Meskipun demikian, banyak juga yang mendengar Sitchin, dan meyakini bahwa Nibiru (dengan orbitnya yang sangat eksentrik dalam mengelilingi Matahari) akan kembali, mungkin pada tahun 2012 untuk menyebabkan semua kehancuran dan terror-teror di Bumi ini. Dari “penemuan” astronomis yang meragukan inilah hipotesis Kiamat 2012 Planet X didasarkan. Lalu, bagaimanakah Planet X dianggap sebagai perwujudan dari Nibiru?

Kemudian terdapat juga “penemuan katai coklat di luar Tata Surya kita” dari IRAS pada tahun 1984 dan “pengumuman NASA akan planet bermassa 4-8 massa Bumi yang sedang menuju Bumi” pada tahun 1933. Para pendukung hipotesis kiamat ini bergantung pada penemuan astronomis tersebut, sebagai bukti bahwa Nibiru sebenarnya adalah Planet X yang telah lama dicari para astronom selama abad ini. Tidak hanya itu, dengan memanipulasi fakta-fakta tentang penelitian-penelitian ilmiah, mereka “membuktikan” bahwa Nibiru sedang menuju kita (Bumi), dan pada tahun 2012, benda masif ini akan memasuki bagian dalam Tata Surya kita, menyebabkan gangguan gravitasi.

Dalam pendefinisian yang paling murni, Planet X adalah planet yang belum diketahui, yang mungkin secara teoretis mengorbit Matahari jauh di balik Sabuk Kuiper. Jika penemuan beberapa hari lalu memang akhirnya mengarah pada pengamatan sebuah planet atau Plutoid, maka hal ini akan menjadi penemuan luar biasa yang membantu kita memahami evolusi dan karakteristik misterius bagian luar Tata Surya kita.
Sumber : Universe Today

MASA DEPAN BUMI SAAT MATAHARI BEREVOLUSI











Perubahan iklim dan pemanasan global yang terjadi akhir-akhir ini menjadi salah satu efek yang sangat signifikan dalam perubahan kondisi Bumi selama beberapa dekade dan abad ke depan. Namun, bagaimana dengan nasib Bumi jika terjadi pemanasan bertahap saat Matahari menuju masa akhir hidupnya sebagai bintang katai putih? Akankah Bumi bertahan, ataukah masa tersebut akan menjadi masa akhir kehidupan Bumi?
Milyaran tahun lagi, Matahari akan mengembang menjadi bintang raksasa merah. Saat itu, ia akan membesar dan menelan orbit Bumi. Akankah Bumi ditelan oleh Matahari seperti halnya Venus dan Merkurius? Pertanyaan ini telah menjadi diskusi panjang di kalangan astronom. Akankah kehidupan di Bumi tetap ada saat matahari menjadi Katai Putih?


Berdasarkan perhitungan yang dilakukan K.-P. Schr¨oder dan Robert Connon Smith, ketika Matahari menjadi bintang raksasa merah, ekuatornya bahkan sudah melebihi jarak Mars. Dengan demikian, seluruh planet dalam di Tata Surya akan ditelan olehnya. Akan tiba saatnya ketika peningkatan fluks Matahari juga meningkatkan temperatur rata-rata di Bumi sampai pada level yang tidak memungkinkan mekanisme biologi dan mekanisme lainnya tahan terhadap kondisi tersebut.


Saat Matahari memasuki tahap akhir evolusi kehidupannya, ia akan mengalami kehilangan massa yang besar melalui angin bintang. Dan saat Matahari bertumbuh (membesar dalam ukuran), ia akan kehilangan massa sehingga planet-planet yang mengitarinya bergerak spiral keluar. Lagi-lagi pertanyaannya bagaimana dengan Bumi? Akankah Matahari yang sedang mengembang itu mengambil alih planet-planet yang bergerak spiral, atau akankah Bumi dan bahkan Venus bisa lolos dari cengkeramannya?


Perhitungan yang dilakukan oleh K.-P Schroder dan Robert Cannon Smith menunjukan, saat Matahari menjadi bintang raksasa merah di usianya yang ke 7,59 milyar tahun, ia akan mulai mengalami kehilangan massa. Matahari pada saat itu akan mengembang dan memiliki radius 256 kali radiusnya saat ini dan massanya akan tereduksi sampai 67% dari massanya sekarang. Saat mengembang, Matahari akan menyapu Tata Surya bagian dalam dengan sangat cepat, hanya dalam 5 juta tahun. Setelah itu ia akan langsung masuk pada tahap pembakaran helium yang juga akan berlangsung dengan sangat cepat, hanya sekitar 130 juta tahun. Matahari akan terus membesar melampaui orbit Merkurius dan kemudian Venus. Nah, pada saat Matahari akan mendekati Bumi, ia akan kehilangan massa 4.9 x 1020 ton setiap tahunnya (setara dengan 8% massa Bumi).

Setelah mencapai tahap akhir sebagai raksasa merah, Matahari akan menghamburkan selubungnya dan inti Matahari akan menyusut menjadi objek seukuran Bumi yang mengandung setengah massa yang pernah dimiliki Matahari. Saat itu, Matahari sudah menjadi bintang katai putih. Bintang kompak ini pada awalnya sangat panas dengan temperatur lebih dari 100 ribu derajat namun tanpa energi nuklir, dan ia akan mendingin dengan berlalunya waktu seiring dengan sisa planet dan asteroid yang masih mengelilinginya.


Zona Habitasi yang BaruSaat ini Bumi berada di dalam zona habitasi / layak huni dalam Tata Surya. Zona layak huni atau habitasi merupakan area di dekat bintang di mana planet yang berada di situ memiliki air berbentuk cair di permukaannya dengan temperatur rata-rata yang mendukung adanya kehidupan. Dalam perhitungan yang dilakukan Schroder dan Smith, temperatur planet tersebut bisa menjadi sangat ekstrim dan tidak nyaman untuk kehidupan, namun syarat utama zona habitasinya adalah keberadaan air yang cair.

Tak dapat dipungkiri, saat Matahari jadi Raksasa Merah, zona habitasi akan lenyap dengan cepat. Saat Matahari melampaui orbit Bumi dalam beberapa juta tahun, ia akan menguapkan lautan di Bumi dan radiasi Matahari akan memusnahkan hidrogen dari air. Saat itu Bumi tidak lagi memiliki lautan. Tetapi, suatu saat nanti, ia akan mencair kembali. Nah saat Bumi tidak lagi berada dalam area habitasi, lantas bagaimana dengan kehidupan di dalamnya? Akankah mereka bertahan atau mungkin beradaptasi dengan kondisi yang baru tersebut? Atau itulah akhir dari perjalanan kehidupan di planet Bumi?


Yang menarik, meskipun Bumi tak lagi berada dalam zona habitasi, planet-planet lain di luar Bumi akan masuk dalam zona habitasi baru milik Matahari dan mereka akan berubah menjadi planet layak huni. Zona habitasi yang baru dari Matahari akan berada pada kisaran 49,4 SA - 71,4 SA. Ini berarti areanya akan meliputi juga area Sabuk Kuipert, dan dunia es yang ada disana saat ini akan meleleh. Dengan demikian objek-objek disekitar Pluto yang tadinya mengandung es sekarang justru memiliki air dalam bentuk cairan yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan. Bahkan bisa jadi Eris akan menumbuhkan kehidupan baru dan menjadi rumah yang baru bagi kehidupan.


Bagaimana dengan Bumi?Apakah ini akhir perjalanan planet Bumi? Ataukah Bumi akan selamat? Berdasarkan perhitungan Schroder dan Smith Bumi tidak akan bisa menyelamatkan diri. Bahkan meskipun Bumi memperluas orbitnya 50% dari orbit yang sekarang ia tetap tidak memiliki pluang untuk selamat. Matahari yang sedang mengembang akan menelan Bumi sebelum ia mencapai batas akhir masa sebagai raksasa merah. Setelah menelan Bumi, Matahari akan mengembang 0,25 SA lagi dan masih memiliki waktu 500 ribu tahun untuk terus bertumbuh.

Saat Bumi ditelan, ia akan masuk ke dalam atmosfer Matahari. Pada saat itu Bumi akan mengalami tabrakan dengan partikel-partikel gas. Orbitnya akan menyusut dan ia akan bergerak spiral kedalam. Itulah akhir dari kisah perjalanan Bumi.


Sedikit berandai-andai, bagaimana menyelamatkan Bumi? Jika Bumi berada pada jarak 1.15 SA (saat ini 1 SA) maka ia akan dapat selamat dari fasa pengembangan Matahari tersebut. Nah bagaimana bisa membawa Bumi ke posisi itu?? Meskipun terlihat seperti kisah fiksi ilmiah, namun Schroder dan Smith menyarankan agar teknologi masa depan dapat mencari cara untuk menambah kecepatan Bumi agar bisa bergerak spiral keluar dari Matahari menuju titik selamat tersebut.


Yang menarik untuk dikaji adalah, umat manusia seringkali gemar berbicara tentang masa depan Bumi milyaran tahun ke depan, padahal di depan mata, kerusakan itu sudah mulai terjadi. Bumi saat ini sudah mengalami kerusakan awal akibat ulah manusia, dan hal ini akan terus terjadi. Bisa jadi akhir perjalanan Bumi bukan disebabkan oleh evolusi matahari, tapi oleh ulah manusia itu sendiri. Tapi bisa jadi juga manusia akan menemukan caranya sendiri untuk lolos dari situasi terburuk yang akan dihadapi.

Sumber : Arxiv : Distant future of the Sun and Earth revisited

TIGA PLANET BARU SEUKURAN JUPITER DITEMUKAN


Semenjak ditemukan pertama kali, exoplanet atau extrasolar planet atau planet luar surya menjadi topik yang hangat dibicarakan dimanapun dan menjadi salah satu topik terdepan dalam sains. Hal ini semakin diperkuat ketika ditemukan planet tipe Bumi di Gliese 581.

Kali ini, 3 exoplanet ditemukan oleh anggota tim Wide Area Search fot Planets (WASP) dan diumumkan dalam konferensi internasional Extrasolar Planet yang berlangsung di Suzhou, China. Planet-planet yang ditemukan itu merupakan planet seukuran Jupiter dan diberi nama WASP-3, WASP-4 dan WASP-5.

Ketiga planet ini ditemukan dengan metode transit, menggunakan kamera super di Afrika Selatan dan di Pulau Canary yang senantiasa memonitor jutaan bintang di seluruh langit.Penemuan ini menjadi menarik karena tim inilah saat ini yang menjadi satu-satunya tim yang menemukan planet dengan metode transit untuk belahan langit utara maupun selatan. WASP-4 dan WASP-5 merupakan planet pertama yang ditemukan di Afrika Selatan dan keduanya juga merupakan planet transit paling terang yang ada di belahan langit selatan. Sedangkan WASP-3 ditemukan di belahan langit Utara menggunakan Kamera SuperWASP di pulau Canary.

Ketiga planet tersebut semuanya berukuran Jupiter namun mereka mengorbit bintang induknya pada jarak yang sangat dekat. Bahkan setahun akan selesai kurang dari 2 hari. Waktu disana akan sangat cepat berlalu bukan?
Nah, dengan kondisi sangat dekat dengan bintang induknya, temperatur permukaan planet-planet tersebut akan lebih dari 2000 derajat Celsius, akibatnya akan sangat sulit untuk ada kehidupan disana. Namun bagaimanapun dengan penemuan planet bermassa Jupiter juga memberi ide kalau planet berukuran Bumi juga sedang menanti untuk ditemukan, asalkan teknologi sudah memungkinkan.


Sumber : Press Release Universitas St. Andrews

BULAN SATURNUS TERNYATA JUGA BERCINCIN


( NASA/JPL/Space Science Institute
Panah menunjukkan bulan bernama Anthe (atas) dan Methone (bawah) yang dikelilingi cincin parsial berbentuk seperti busur panah. )
Senin, 8 September 2008 16:55 WIB
PASADENA, SENIN - Cincin ternyata tak hanya menghiasi Planet Saturnus saja. Foto-foto terakhir yang dikirimkan wahana ruang angkasa Cassini menunjukkan bahwa cincin parsial juga mengelilingi bulan-bulannya.
Cassini mendeteksi cincin pertama di salah satu bulan yang bernama Anthe. Cincin kedua juga terekam di bulan lainnya bernama Methone. Kedua objek termasuk bulan Saturnus yang berukuran kecil.

Tidak seperti cinin planet Saturnus yang halus, lebar, dan membentuk lingkaran penuh, cincin parsial kasar, renggang, dan hanya membentuk lengkungan seperti busur panah. Cincin parsial tersusun dari serpihan-serpihan batu meteor yang mungkin menabrak permukaan bulan tersebut.

Nick Cooper, salah satu ilmuwan dari Universitas Queen Mary London yang terlibat dalam tim pengolah citra Cassini yakin cincin parsial terbentuk karena pengaruh gravitasi objek lainnya di sekitar kedua bulan tersebut. Sebab, Anthe dan Methone berada dekat Mimas, bulan lainnya yang ukurannya lebih besar.
Ia mengatakan, foto-foto tersebut mmberikan informasi baru. Informasi tersebut akan membantu mengungkap interaksi antara bulan-bulan Saturnus dan cincinnya.
Sumber : Kompas.com

UNSUR KEHIDUPAN DAN BADAI DI PLANET ASING


Keingintahuan, mimpi dan harapan untuk menemukan kehidupan cerdas lainnya terus membawa manusia dalam pencarian ke sudut-sudut alam semesta. Apakah pencarian itu tanpa hasil? Tidak juga. Tahun lalu penemuan planet layak huni di bintang Gliese 581 membawa kita pada paradigma baru akan keberadaan planet yang memiliki air di luar Tata Surya. Mengapa air? Ini tak lepas dari pentingnya air sebagai unsur kehidupan di Bumi. Karena tentunya pencarian kehidupan akan selalu mengacu pada kehidupan di Bumi.
Kali ini para astronom kembali mendeteksi keberadaan air bahkan juga kemungkinan tanda cuaca di sebuah planet nun jauh di luar Tata Surya. Planet gas raksasa yang tengah diamati itu mengorbit bintang yang berada 63 tahun cahaya jauhnya dari Bumi. Diperkirakan planet asing tersebut memiliki karbon dioksida dan metana di atmosfernya.

Berdasarkan model teoritis, air merupakan molekul paling berlimpah di alam semesta. Nah, tentunya molekul air akan mudah terbentuk dalam atmosfer planet. Sayangnya ternyata tidak semudah itu. Saat pengamatan pertama dilakukan, tidak ditemukan tanda-tanda keberadaan air di spektrum atmosfernya.
Jejak awal air di atmosfer memang sempat dikenali tahun lalu pada planet ini dan exoplanet lainnya. Namun saat itu data yang ada masih ambigu. Bukti baru kembali dimunculkan setelah spektrum yang ada memperlihatkan dengan sangat jelas keberadaan air di atmosfer planet tersebut.

Planet ini termasuk kategori planet “hot Jupiter” - sebuah planet gas raksasa yang mengorbit sangat dekat ke bintangnya dibanding Jupiter ke Matahari. Karena itu planet yang juga dikenal sebagai planet HD 189733b ini lebih panas dari pada Jupiter. Pengamatan pada HD 189733b dilakukan dengan menggunakan metode “gerhana pada saat kontak awal” untuk mengeliminasi cahaya bintang induk dan merekam cahaya si planet.

Dengan metode ini, astronom harus merekam cahaya kedua objek tersebut baru kemudian dikurangi dengan spektrum cahaya bintang yang diambil saat planet berada di baliknya. Carl Grillmair dari Spitzer Science Center menggunakan spektograf infra merah pada Spitzer Space Telescope untuk mengamati planet HD 189733b.
Pengamatan dilakukan pada panjang gelombang infra merah menengah, area spektrum dimana tanda molekul air akan mudah dikenali dengan jelas. Hasilnya, tak pelak lagi tampak keberadaan uap air disana.
Langit BerawanTapi mengapa pada saat pertama kali diteliti tidak tampak jelas keberadaan air pada spektrum HD 189733b? Mengapa bisa ada perubahan seperti itu?

Perubahan mungkin saja terjadi karena perubahan awan pada lapisan atmosfer teratas planet tersebut. Diprediksi terjadi badai yang dahsyat atau cuaca yang sangat buruk disertai angin ribuan mil perjam yang membentuk awan tinggi di atmosfer dan menyembunyikan tanda keberadaan air pada awan yang lebih rendah.
Saat ini masih belum bisa dipastikan apa yang terjadi dengan data yang ada. Namun penjelasan yang menyertakan perubahan cuaca ini sangat memungkinkan dan memberi kegembiraan baru. Bayangkan jika ini benar, kita baru saja mendapat petunjuk laporan cuaca dari dunia baru yang berada jauh dari Tata Surya.
Menurut Adam Burrows dari Princeton University, pertanyaan-pertanyaan yang ada diharapkan akan memperoleh jawaban dari data baru yang akan datang bulan depan. Diharapkan data tersebut bisa mengkonfirmasi apakah memang yang dilihat adalah pola pertama dari cuaca di exoplanet ataukah perbedaan itu muncul dari perbedaan cara pengambilan data.

Tanda KehidupanAir.. memang merupakan satu di antara 4 unsur kimia yang mengindikasikan sebuah planet masuk dalam kriteria layak dihuni. Tiga unsur lainnya adalah karbon dioksida, metana, dan oksigen. Dari ke-4 unsur tersebut, 3 di antaranya telah ditemukan di atmosfer HD 189773b. Sayangnya sampai saat ini belum ditemukan tanda keberadaan oksigen. Bahkan tanda keberadaan oksigen memang belum ditemukan di exoplanet manapun.
Bagaimana kalau oksigen ditemukan di HD 189733b, akankah ada kehidupan di sana? Bukankah ke-4 unsur kimia yang mendukung kehidupan sudah lengkap? Seandainya di sana ada oksigen, planet HD 189733b masih tidak memungkinkan untuk memiliki kehidupan yang mirip dengan Bumi. Ini disebabkan karena planet ini terlalu panas untuk bisa memiliki kehidupan. Seandainya terbentuk pun kehidupan itu tidak akan bertahan lama.

Namun keberhasilan mendapat spektra molekul penunjang kehidupan tetap merupakan sebuah kemenangan. Dan metode yang sama akan dapat diterapkan untuk mempelajari atmosfer planet batuan yang serupa Bumi, yang justru memungkinkan untuk memiliki kehidupan di dalamnya. Tapi untuk mencapai titik tersebut, dibutuhkan peralatan yang lebih besar dan lebih baik.
Sumber : Nature

EXOPLANET BARU SEUKURAN BUMI

Perbandingan sistem Gliese 581 dan Tata Surya
Impresi artis untuk sistem extrasolar planet Gliese 581


Sebuah planet kembali ditemukan. Yang mengejutkan, planet ini memiliki massa hanya 2 kali massa Bumi. Sangat kecil serta menjadi sebuah terobosan baru.



Sudah lama, para ilmuwan mencari planet yang berukuran Bumi dan selama ini yang ditemukan adalah Super Bumi yang massanya lebih besar dari 5 kali massa Bumi. Belum pernah ditemukan sebuah planet yang begitu kecil hampir sama dengan Bumi. Dan inilah saatnya.



Michel Mayor yang juga penemu planet extrasolar pertama di Bintang serupa Matahari atau yang kita kenal sebagai sistem 51 Pegasi mengumumkan penemuannya atas planet berukuran Bumi tersebut pada pertemuan JENAM. Planet tersebut merupakan planet keempat di sistem Bintang Gliese 581. Sistem ini jugalah yang menghebohkan dunia dengan planetnya yakni Gliese 581c yang diperkirakan memiliki air. Penemuan Gliese 581d merupakan hasil pengamatan selama lebih dari 4 tahun meggunakan spektograf HARPS yang dipasang pada teleskop 3.6 meter milik ESO di La Silla, Chili. Tak hanya menemukan planet Gliese 581e, tim ini juga menentukan kembali orbit dari Gliese 581d yang ditemukan pada tahun 2007.

Impresi artis untuk sistem extrasolar planet Gliese 581. Kredit : ESO
Hal menarik lainnya adalah dideteksinya planet batuan yang berada di area habitasi bintang. Area di sekitar bintang yang memungkinkan keberadaan air dalam bentuk cair ada di permukaan. Nah ini dia!. Area ini sangat penting karena jika planet berada di sini, dan ternyata memang memiliki air, maka kemungkinan tumbuhnya kehidupan pun cukup besar.



Inilah terobosan baru dalam dunia extrasolar planet. Terobosan yang dicari dan dinantikan baik astronom maupun masyarakat dunia.
Planet Gliese 581 e mengorbit bintang induk yang berjarak 20,5 tahun cahaya, hanya dalam 3,15 hari. Dengan massa yang sangat kecil yakni 1,9 massa Bumi, planet ini menjadi planet yang sangat tidak masif yang pernah dideteksi. Selain itu ia juga merupakan planet batuan pada sistem Bintang Gliese 581 yang berada di rasi Libra si rasi timbangan.

Perbandingan sistem Gliese 581 dan Tata Surya. kredit : ESO
Berada sangat dekat dengan bintang induknya, planet Gliese 581 e ini tidak berada dalam area habitasi bintang atau kadang disebut sebagai zona layak huni. Tapi ada planet lain di sistem ini yang berada di daerah habitasi bintang.



Dari hasil pengamatan sebelumnya dengan HARPS spektograf di Observatorium La Silla, sistem ini diketahui memiliki 3 planet yakni 1 planet berukuran Neptunus dan dua buah planet super-Bumi. Penemuan planet Gliese 581 e menambah jumlah planet di sistem ini menjadi 4 dengan massa (dalam massa Bumi) 1,9 (planet e) , 16 (planet b), 5 (planet c) dan 7 (planet d). Planet terluar yakni planet Gliese 581 d mengorbit bintangnya dalam 66,8 hari dan diperkirakan cukup masif untuk bisa terdiri hanya dari batuan. Namun demikian, Michel Mayor dan timnya meyakini bahwa ini adalah planet es yang bermigrasi mendekati bintang.



Hasil pengamatan terbaru juga menunjukkan keberadaan planet d di zona habitasi, dimana ada kemungkinan keberadaan air di permukaan planet tersebut. Tak hanya itu, Stephane Udry salah satu anggota tim penemu mengatakan, “bisa jadi planet d diselimuti oleh lautan yang luas dan dalam, atau bisa kita katakan ada kemungkinan planet d adalah kandidat “dunia air” dalam dunia exoplanet”.
Tarikan lemah si exoplanet saat mengorbit bintang induknya menyebabkan terjadinya goyangan kecil pada gerak bintang, hanya sekitar 7 km/jam. Peristiwa tersebut bisa diamati dari Bumi dengan menggunakan teknologi yang tepat.
Bintang Gliese 581 merupakan bintang jatai merah bermassa rendah yang berpotensial sebagai tempat pencarian exoplanet bermassa rendah di zona habitasi. Bintang dingin seperti ini relatif lemah kecerlangannya, dan zona habitasinya juga berada sangat dekat dengan Bintang. Dengan demikian jika ada planet berada di area habitasinya, maka goyangan gravitasi yang dihasilkan akan lebih kuat, dan goyangan pada bintang akan lebih mudah teramati.
Tapi walau mudah diamati, tetap saja untuk mendeteksi sinyal sekecil ini masih menjadi tantangan.


Penemuan planet e dan penentuan orbit planet d dimungkinkan karena stabilitas dan tingkat presisi HARPS yang sangat tinggi.
Bagi Michel Mayor, penemuan ini begitu menakjubkan. Bagaimana tidak, 14 tahun lalu ia menemukan untuk pertama kalinya sebuah planet yang mengitari bintang serupa Matahari di bintang 51 Pegasi.


Dan sekarang ia menemukan sebuah planet yang massanya 80 kali lebih kecil dari planet 51 Pegasi b. Menakjubkan bukan perkembangan yang terjadi dalam 14 tahun? Jika dulu yang bisa ditemukan hanya planet raksasa, sekarang planet seukuran Bumi tak lagi jadi masalah.



Para astronom pun semakin yakin bahwa mereka bisa melakukan yang lebih baik lagi. Penemuan planet serupa Bumi di tengah area habitasi di bintang katai merah tinggal menunggu waktu untuk disingkapkan.


Dan… perburuan planet pun terus berlanjut…